Surat untuk Si Pendiam

Kamu sudah bersedia simpan rahasia-rahasiaku, kamu sudah bersedia untuk jadi sandaranku, kamu sudah mau berdiri di tengah-tengah kamarku tanpa lampu. Lalu kamu masih sanggup tersenyum ke arahku, meski aku balas kamu dengan nanah dari mataku. Aku tidak cukup sedih untuk memberi barang istimewa yang sedang laku. 

“Aku suka kamu. Tolong jangan berubah,” Kamu bilang. Tapi ladang milikku sudah mulai gersang, kesepian karena tak tahu harus mulai dari mana. Harus mulai dari mana, yah, untuk bilang, kalau yang kita miliki ini tidak seperti kebanyakan orang.

Apa kemudian harus kutebas saja ilalang? Supaya bisa tanam lebih banyak bunga khayalan. Lalu kamu hanya terdiam, mulai paham dengan arahan yang kuberikan.

Sayang, pendiam, aku sayang kamu. Yang selalu jadi ranjang, ketika punggungku retak. Sayang, pendiam, bilik ini selalu dihuni kamu. Meski kadang, sengaja kutinggalkan penuh debu.

Leave a comment